Artikel dan Renungan

SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN



Pengantar
1. Persaudaraan sebagai nilai manusiawi
2. Seperti semua orang, demikianlah juga para 'biawaran' dipanggil untuk persaudaraan
3. Persaudaraan sebagai perjalanan spiritual yang mulai dari Allah
4. Persekutuan: perjalanan menuju kedewasaan rohani dengan menerima orang yang lain.
5. Sikap kontemplatif persaudaraan yang menuju kemanusiaan yang sejati.
6. Maria sebagai model persaudaraan

Pengantar

Jika kita hendak berbicara tentang 'spiritualitas persaudaraan', kita harus dulu bertanya apa yang dimaksudkan dengan persaudaraan
(1). Mengapa aspek ini dari kehidupan manusia merupakan nilai religius? Bukankah persaudaraan salah satu segi kehidupan setiap orang yang mulai hidup secara sadar? Bukankah untuk bruder-bruder FIC pun persaudaraan merupakan pertama-tama suatu nilai manusiawi, yaitu sesuatu yang dalam dirinya berguna dan berharga?
Apa kelebihan kalau kita menambahkan istilah 'spiritualitas'? Persaudaraan tidak hanya merupakan sebagian dari kenyataan hidup manusia tetapi juga ditemukan oleh setiap orang sebagai suatu panggilan
(2). Para bruder FIC hidup pertama-tama dengan panggilan manusiawi yang umum itu dan mewujudkannya dalam konteks hidup religius. Sebagai orang yang mewujudkan persaudaraan manusiawi itu secara khusus, mereka dipanggil untuk menghayati persaudaraan sebagai suatu perjalanan spiritual
(3). Karena itu persaudaraan merupakan suatu perjalanan menuju Allah. Dengan memenuhi 'panggilan' Allah itu dalam persekutuan saudara, orang religius mencapai kedewasaan spiritual dengan menerima orang yang lain
(4). Dalam orang lain (orang yang tak dikenal) ia menemui Kristus.
Orang lain menyatakan diri sebagai 'panggilan'. Maka persaudaraan menuntut sikap kontemplatif
(5). Dalam Maria sikap kontemplatif menjadi sumber aktivitas. Dengan demikian ia menjadi model sejati persaudaraan religius
(6). Pokok-pokok uraian ini memperlihatkan secara singkat beberapa langkah refleksi yang bisa membantu kita untuk memahami arti persaudaraan dan persaudaraan religius. Refleksi itu juga menunjuk cara mengembangkan strategi-strategi pembinaan dan penghayatan persaudaraan religius.
Orang religius adalah manusia biasa. Namun ia menyadari kehidupannya sebagai suatu panggilan religius. Karena itu kehidupan religius pasti membawa ketegangan antara persaudaraan sebagai kualitas manusiawi yang umum dan persaudaraan sebagai panggilan spiritual atau perjalanan spiritual. Untuk sungguh merenungkan arti persaudaraan, maka 'pemikiran abstrak' harus senantiasa bertujuan menjelaskan kehidupan konkret sehari-hari. Spiritualitas persaudaraan bukan suatu ide atau ideal, tetapi kenyataan hidup yang sulit tetapi juga menggembirakan.

1. Persaudaraan sebagai nilai manusiawi


Persaudaraan menyangkut pertama-tama cara mewujudkan hubungan antar manusia. Dan memang hal itu aspek yang penting. Pertanyaan pokok dalam rangka itu, apakah kita bergaul sebagai saudara? Apakah kita saling memperlakukan sebagai saudara sejati dengan perhatian dan respek? Apakah kita bekerja sama sebagai saudara? Apakah kita mampu memperjuangkan suatu proyek bersama-sama berdasarkan nilai-nilai bersama? Dalam arti itu persaudaraan merupakan kualitas perilaku manusia atau kenyataan psikososial. Persaudaraan itu bisa dilatih dan kita bisa berusaha untuk mewujudkannya. Dalam persaudaraan kita menemukan batas-batas pribadi kita yang dikarenakan 'egosentrisme' alamiah kita atau pemusatan pada diri sendiri. Walaupun kita berbudi luhur, jika kita ingin tetap tinggal manusia yang sehat, kita harus mengindahkan kebutuhan alamiah kita akan keamanan, pegangan dan kepastian. Dan untuk itu kita membutuhkan orang lain. Namun kita harus juga melindungi dengan baik ruang gerak hidup kita sendiri. Tidak seorang pun bisa hidup dalam kevakuman. Manusia tidak bisa hidup dalam ruang dan waktu tanpa kepastian tertentu. Persaudaraan menciptakan ruangan aman dengan banyak unsur persamaan. Dalam persaudaraan kita bisa menerima orientasi.
Kita bisa menjadi diri sendiri tanpa merasa tertekan. Orang lain memberi pegangan kepada kita. Ia memberi peluang untuk mengembangkan kehidupan kita sendiri 'dengan aman'.
Spiritualitas persaudaraan ialah lain dari pada kemampuan sempurna manusia untuk menyatakan kepada orang lain 'respek dan perhatian sebagai saudara' dengan segala pembatasan dirinya sendiri. Jika inilah persaudaraan, semestinya cukup jika orang mempunyai motivasi bersama bagi hidup persaudaraan sehingga menjadi manusia sepenuhnya. Kalau begitu, persaudaraan lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan, respek terhadap kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan untuk dihargai, disapa dan diperhatikan, dan juga keinginan untuk memiliki bersama satu rumah tangga, satu rumah, serta sarana materiil dan finansial, dan keinginan untuk menjadi efisien dan siap sedia bagi apostolat dan karya amal yang dicitakan, dst. Dalam persekutuan antara individu, 'persaudaraan' berguna bagi setiap orang. Untuk suasana hidup yang optimal semestinya cukup untuk membicarakan secara terbuka motivasi-motivasi untuk persaudaraan dan memperkuat masing-masing motivasi itu. Pendampingan kelompok atau pendampingan psikososial dalam percakapan kelompok yang intensif merupakan alat yang baik untuk hal itu. Jika ada orang yang kurang seimbang, kurang dewasa atau yang mengalami terlalu banyak stres, orang itu bisa diberi bantuan psikologis atau bantuan sosial sehingga ia dapat tetap berfungsi dalam persaudaraan secara optimal. Walaupun semua itu memang baik dan perlu, kita harus bertanya apakah inilah arti persaudaraan sebagai spiritualitas?
Jika kita bertanya dalam konteks tarekat religius apa sebenarnya persaudaraan, maka kita harus bertanya bagaimana persaudaraan sebagai nilai dan cara hidup 'religius' membawa dalam diri kita suatu 'perubahan terus-menerus' 'dalam hubungan dengan Allah'. Jika persaudaraan religius tidak hanya merupakan faktor 'yang bermanfaat' secara psikososial, ekonomis, organisatoris dan bagi apostolat, maka persaudaraan merupakan suatu panggilan. Panggilan bisa berguna, tetapi sebenarnya tak berkaitan dengan individualitas manusia. 'Panggilan' berarti bahwa kita harus meninggalkan ruangan tertutup kepentingan-kepentingan manusiawi kita, karena kita tersentuh oleh Firman Allah yang tak terpahami. Allah berbicara kepada kita secara pribadi dan mengajak kita untuk keluar dari pembatasan kita. Karena itu kita menyebut persaudaraan suatu nilai religius yang fundamental. Orang yang mengalami bahwa Allah memanggil mereka untuk bentuk kehidupan religius itu, memilih hidup persekutuan. Melalui cara hidup itu Allah mau mengubah mereka dalam dirinya. Maka persaudaraan tidak merupakan 'nilai' yang membantu kita untuk menjadi manusia yang lebih baik bahkan orang religius yang lebih baik. Sebagai panggilan, persaudaraan tak 'bermanfaat'. Sebagai panggilan, persaudaraan itu tidak 'bermanfaat', walaupun menghasilkan banyak hal yang baik. Tuhan menggunakan kita sebagai saluran karya kerahimanNya. Itu melampaui pikiran rasio kita. Makin kita keluar dari ego kita, makim hati kita terarah kepada sesama, makin kita merupakan alat sempurna dalam tangan Tuhan, ungkapan dari cinta Tuhan yang tak bersyarat.

2. Seperti semua orang, demikianlah juga para 'biawaran' dipanggil untuk persaudaraan.

Jika kita merenungkan hidup kita sebagai manusia, maka kita menemukan Allah sebagai Pencipta dan Bapa. Setiap orang menerima kehidupannya dari tangan Allah. Dengan demikian kita melihat bahwa kita dikasihi dan dipanggil untuk hidup dalam persaudaraan dengan semua orang. Memang hal itu bukan pengalaman khusus orang religius, tetapi salah satu pengalaman mendasar manusia. Dalam pengalaman itu Allah Pencipta dihayati sebagai pemberi kehidupan. Karena itu kita melihat setiap orang sebagai saudara.
Orang yang menutup diri terhadap pengalaman itu tidak hidup sepenuhnya. Ia menutup diri terhadap makna yang paling mendalam dari keberadaan manusia. Karena itu setiap orang dipanggil untuk spiritualitas persaudaraan. Setiap orang 'dipanggil' untuk menjadi saudara orang lain. Hal itu sebenarnya wajar. Hidup religius bukan sesuatu yang 'lain' daripada hidup manusia dan hidup kristiani. Hidup religius itu merupakan perwujudan sangat spesial dari eksistensi manusiawi dan kristiani.Orang religius terpanggil untuk mengikuti Yesus Kristus dan untuk menjajaki 'seni' dan kebijaksanaan hidup manusia demi sesama manusia dan sesama orang kristen dalam terang Kabar Baik. Orang religius mengembangkan seni itu dan memberi teladan dalam hidup mereka. Hal itu dilakukan bukan atas inisiatif mereka sendiri atau karena keyakinan dan kekuatan mereka sendiri. Mereka berusaha untuk mewujudkan persaudaraan karena Allah telah berfirman kepada mereka dan berkat bantuan anugerah-Nya.
Pada satu segi, persaudaraan itu diwujudkan dalam struktur-struktur hidup religius. Struktur itu memberi kemungkinan untuk menghayati perjalanan spiritual secara individual dan bersama-sama orang yang terpanggil untuk hidup religius itu. Dengan demikian mereka dimampukan untuk mengabdi dalam apostolat bagi manusia dan gereja. Pada segi lain, persaudaraan itu terwujud dalam spiritualitas kongregasi. Spiritualitas itu dinyatakan dalam sistem nilai dan pola perubahan yang dimiliki bersama. Peraturan dan Konstitusi adalah ungkapan konkretnya. Peraturan dan Konstitusi justru memberi kesempatan optimal untuk perjalanan spiritual orang religius.
Hal ini berarti bahwa persaudaraan terwujud dalam pergaulan dan hubungan-hubungan psikososial. Kerjasama itu menyangkut tempat tinggal dan karya. Orang religius terbuka untuk menerima 'orang luar' sebagai tamu. Dan tamu itu pula diajak untuk menjajaki panggilan religius, yaitu panggilan 'persaudaraan' mereka. Aspek ini dari persaudaraan religius pertama-tama mencolok. Hidup itu merupakan satu perwujudan persaudaraan yang dapat diorganisasi. Bentuk persaudaraan religius itu bisa sungguh diusahakan dengan mengemban konsekuensi-konsekuensi persaudaraan radikal. Pada taraf persaudaraan religius itu tuntutan-tuntutannya dihayati secara mendalam Kita ditantang untuk dibina dalam persaudaraan otentik. Dan hari demi hari kita harus setia kepada tantangan itu.

3. Persaudaraan sebagai perjalanan spiritual yang mulai dari Allah

Sebenarnya persaudaraan itu tetap merupakan tugas yang berat dan hampir mustahil. Khususnya jika persaudaraan terbatas pada motivasi manusiawi dan berdasarkan kemampuan kita sendiri. Persaudaraan sejati hanya mungkin jika persaudaraan itu menjadi suatu perjalanan spiritual. Dengan demikian kita semakin melihat dan menghayati Allah sebagai Bapa kita bersama.
Maka kita melihat orang lain sebagai saudara kita yang dikaruniakan oleh Allah. Perjalanan itu memerlukan pengabdian seluruh pribadi kita dan pasti berlangsung selama hidup kita. Kita harus 'menyesuaikan diri' dengan tuntutan-tuntutan hidup persaudaraan melalui sikap dan perilaku kita. Hal itu memerlukan kedewasaan psikososial, kreativitas dan fleksibilitas yang besar. Namun panggilan religius juga menuntut agar hari demi hari kita melihat Allah dengan semakin intensif dan radikal sebagai pemberi segala aspek dari apa yang kita ada, buat dan alami. Allah tidak hanya memberi hal yang indah dan menyenangkan, tetapi segala sesuatu yang 'ada'. Jadi juga hal yang kita takuti atau jijikkan, hal yang membuat kita cemas dan enggan. Allah adalah pencipta manusia yang hidupnya terancam dan fana. Untuk menerima pribadi kita dari tangan Allah dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, kita harus merekonsiliasi diri dengan diri kita dan dengan Allah. Kita melarikan diri setiap kali lagi dari kenyataan hidup kita sebagai makhluk yang tercipta. Kita membayangkan Allah sebagai Allah yang memenuhi cita-cita kita akan hidup manusia yang kuat. Dengan menyangkal kenyataan keberadaan kita sendiri, sebagian besar diri kita dikesampingkan dari pengenalan diri dan dari pemahaman kita tentang Allah. Maka spiritualitas persaudaraan menuntut pertama-tama bahwa kita bersaudara dengan segi keberadaan kita sendiri yang tak diinginkan dan disembunyikan, yaitu kelemahan kita, ketidakmampuan kita, keterbatasan kita (secara psikis, sosial, afektif, intelektual, dst.), dan dengan kesakitan dan maut... Jika kita sungguh bersaudara dengan diri kita, maka kita juga sungguh menerima Allah sebagai Bapa dalam hidup kita, yaitu sebagai pemberi segala sesuatu yang 'ada'. Tidak ada lagi hal yang dikesampingkan karena tak diinginkan atau disangkal. Kita tidak menutup lagi mata terhadap pemberian - apa pun juga - yang setiap hari lagi kita terima dari tangan Allah. Jika kita menyebut Allah Bapa kami, maka entah itulah suatu langkah yang menyangkut seluruh hidup kita, atau tidak lebih daripada dalih untuk mempunyai hati nurani yang tenang dan 'perasaan religius' yang baik Jadi spiritualitas persaudaraan merupakan pertama-tama hubungan dengan Allah yang meliputi dan meresapi segala-sesuatu.
Karena itu persaudaraan merupakan suatu 'panggilan' dari Allah. Ketika kita memenuhi panggilan itu, kita mencapai kedewasaan rohani. Dengan demikian kita diubah oleh Allah.

4. Persekutuan: perjalanan menuju kedewasaan rohani dengan menerima orang yang lain.

Karena panggilan dari Allah itu yang meliputi seluruh hidup kita dan menyangkut segala aspeknya, kita menjadi saudara setiap orang. Kita menghadapi orang lain sebagai orang yang diberi kepada kita oleh Allah.
Panggilan fundamental akan persaudaraan itu bisa sungguh berkembang dalam persekutuan saudara-saudara. Dengan demikian kita mengalami dan melihat orang lain sebagai saudara dan sesama kita dalam Allah. Sebagai manusia kita sangat berbeda. Setiap orang berbeda dari yang lain karena identitasnya sebagai pribadi. Perjalanan spiritual berarti bahwa kita melihat dalam 'perbedaan dan ketidakcocokan' orang lain tuntutan dari Allah yang sama sekali lain dari kita. Hidup dalam persekutuan berarti kita menerima 'orang lain' dalam hidup kita. Kita merasa takut terhadap orang lain. Orang lain menimbulkan agresi kita. Karena ia tak terpahami dan tak sesuai dengan apa yang kita kenal atau yang biasa bagi kita. Selalu ada bahayanya bahwa kita mereduksi orang lain untuk menjadikannya sama dengan kita. Kita 'menuntut' dari orang lain agar ia menyesuaikan diri dengan 'ciri khas' kita, dengan norma-norma, ide-ide, kebiasaan-kebiasaan dan sikap kita. Namun dalam perbedaan itu kita harus menganggap dan mengalami orang lain sebagai 'saudara' yang berasal dari Bapa yang sama dan sebagai karunia yang tak terduga. Dengan demikian orang lain diberi kesempatan untuk menyatakan kepada kita wajah yang sesungguhnya. Dalam 'orang lain' Kristus datang kepada kita. Dalam 'orang lain' Kristus mengajak kita untuk membuka diri bagi 'kenyataan'. Karena itu 'orang yang tak dikenal' tidak hanya merupakan bagi kita tugas dan beban, melainkan pertama-tama suatu 'panggilan'. Persaudaraan religius adalah pertama-tama kesempatan untuk melatih diri untuk sungguh berhubungan dengan Allah. Persaudaraan tidak merupakan nilai tambahan yang gunanya hanya praktis. Persaudaraan tak hanya memenuhi kebutuhan psikososial kita dan bermaksud agar kita bersama-sama menjadi lebih efisien. Persaudaraan adalah ruangan spiritual di mana kita bisa sungguh-sungguh menjadi orang religius, yaitu orang yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, sehingga kita senantiasa diubah dalam Allah. Dalam persaudaraan kita tidak melihat orang lain secara dangkal saja sebagaimana tampak rupanya, melainkan dengan mata Allah kita melihat hakikatnya yang paling mendalam. Kita tidak melihat orang lain dalam kenyataannya yang terbatas, sebagaimana ia tampil sampai sekarang dan sebagaimana ia telah menjadi, melainkan kita melihatnya dalam perkembangannya karena cinta-kasih Allah yang meningkatnya dan menjadikannya indah. Dalam 'keterasingan' yang kita alami terhadap orang lain, Allah datang kepada kita sebagai Allah yang mutlak. Dengan demikian Ia memanggil kita untuk menerima cinta-kasih dan belaskasih-Nya.

5. Sikap kontemplatif persaudaraan yang menuju kemanusiaan yang sejati.

Persaudaraan merupakan latihan rohani bagi orang religius yang hidup dalam persekutuan. Dan sebagai model hidup spiritual, persaudaraan menjadi 'teladan' yang menunjuk kepada setiap orang kemungkinan untuk melatih diri agar mewujudkan panggilan persaudaraan. Persekutuan orang religius mewujudkan persaudaraan dalam hidupnya di dunia kita yang ditandai oleh ketidaksetaraan, penyalahgunaan dan kekerasan. Dengan demikian orang religius menjajaki kemungkinan manusia untuk bertumbuh sampai mencapai kedewasaan rohani, respek dan penghargaan mendalam terhadap setiap orang bagaimana pun warna kulitnya, kebudayaan atau 'sifat khasnya'. Dalam persaudaraan, orang religius mengembangkan bentuk-bentuk model perubahan spiritual yang memberi kesempatan kepada gereja dan manusia untuk bertumbuh sampai kesempurnaan kristiani dan kesetaraan manusia. Karena itu lapangan kerja orang religius ialah di 'pinggiran' masyarakat: yaitu anak-anak, dan orang lanjut usia (yang belum berperan atau tidak lagi berperan dalam masyarakat), orang sakit, orang cacad, orang yang dianiaya atau haknya dirampas... Jadi persaudaraan religius terarah kepada orang yang menurut logika manusia tak bermanfaat dan berhasil karena dianggap tak setara dan kurang berguna. Persaudaraan tak terbatas pada pengabdian sosial dan sikap manusiawi, tetapi menuju kemanusiaan yang berkaitan dengan hubungan setiap orang dengan Allah. Persaudaraan membantu orang yang tertindas atau yang lemah secara konkret. Namun persaudaraan merupakan terutama tempat latihan religius di mana orang mempelajari budaya religius yang memampukan kita untuk melihat orang lain dengan 'mata Allah'. Dan hal itu terjadi karena sikap hidup 'kontemplatif' yang membantu kita untuk mengabdikan diri kepada orang lain secara konkret karena cinta kasih Allah. Maka persaudaraan sebenarnya bersifat kontemplatif dan aktif. Inilah kedua 'kaki' yang memampukan orang religius untuk mengikuti jalan Allah dalam konteks historis yang konkret 'dunia' ini. Persaudaraan membuka mata kita untuk melihat 'apa yang ada' dan membebaskan kita dari rasionalisasi, pemalsuan, represi dan pembelaan diri. Sebenarnya inilah mekanisme-mekanisme untuk menyelamatkan 'individualitas' kita dari pandangan orang lain yang melukai kita dengan memasuki dunia kita dan mempersoalkannya. Persaudaraan mengundang kita untuk masuk ke 'dunia orang lain', persaudaraan mengajarkan kepada kita bahasa yang tak dikenal dan membuka mata kita bagi hal yang kita takuti. Dalam persaudaraan kita menerima orang lain dari tangan Allah sebagai saudara atau saudari, yaitu sebagai anugerah. Di samping semua kegiatan yang berguna dalam rangka persaudaraan apostolis, penghayatan persaudaraan dan kesetiaan pada persaudaraan sebagai 'panggilan' membuat kita orang religius sejati. Dan lambat laun hidup persaudaraan itu semakin mengubah kita dalam Allah.

6. Maria sebagai model persaudaraan

Kita melihat 'persaudaraan' yang terwujud dalam hidup Maria sebagai teladan. Dalam rahimnya Maria menerima hidup dari Allah - tanpa perantaraan 'seorang laki-laki'- dan ia menyampaikannya kepada manusia. Sebagai perawan tak ternoda ia menjadi transparan untuk memperlihatkan Allah, karena ia melihat Wajah Allah dalam Firman yang disampaikan kepadanya oleh orang 'yang tak dikenal' (malaekat). Dengan mengiyakan panggilannya, ia menjawab Allah Bapa sepenuhnya. Dan dengan demikian ia lolos dari tata logika manusiawi tentang 'individualitasnya'. Maka ia menjadi bunda dan saudara setiap orang dan menemani kita dalam perjalanan menuju persaudaraan. Ia mengajar kita membuka diri bagi perbuatan ajaib Allah dan bernyanyi tentang perbuatan itu dalam hidup yang menjadi transparan untuk memperlihatkan Allah. Persaudaraan membawa kita ke suatu hidup yang sebenarnya besifat hidup Maria.

[ Kapitel Umum FIC 2000
Dr. Hein Blommestijn o.carm & Drs. Jos Huls o.carm ]
(Terjemahan dari bahasa Belanda oleh Renate Drewes-Siebel M.A.)